Hai, Kamu. Maafkan Aku yang Kaku

Lika-liku (dulu) ketika menuju halal 🤭
Ada keinginan yang terpendam yang bingung bagaimana cara mengutarakan
Hingga ketika sudah halal dan dibacanya tulisan ini lalu kukatakan sebenarnya ada kode yang sudah kuberikan tanpa dia mengerti kalau itu kode, dia pun meminta maaf atas ketidakpekaannya 😅😆😁

Bekerja untuk Keabadian

Bismillaah.

[6 Nov 2018 – tiga hari pasca kedatanganmu dan keluargamu untuk ‘meminta’-ku dari keluargaku]

Hai, Kamu. Aku mulai bingung mengajakmu komunikasi untuk membahas persiapan pernikahan (eh, apa? pernikahan? ya Allah, beneran nih?) kita (eh, kita? kita-mau-nikah? ya Allah, beneran nih?). Jujur, banyak hal yang membuatku ingin tertawa yang akhirnya hanya mampu kutahan dan menyisakan senyum simpul.

Hai, Kamu. Aku ada sesuatu yang ingin kubagi denganmu. Tapi aku ragu. Apakah aku sudah boleh melakukannya? Ada yang berbisik, “ga papa, toh udah jadi calon (udah resmi di-khitbah) kan?“. Lalu, ada yang menimpali, “jangan, tahan, berikan untuk yang lain saja. Dia masih calon ini kan. Jangan rusak benteng penjagaan yang sudah dibangun. Sabar. Do’akan saja. Dia ga akan kelaparan tanpa pemberianmu itu kok. Allah yang kasih rezeki kan?

Hai, Kamu. Aku punya permintaan. Aku masih belum menemukan cara yang tepat untuk menyampaikannya. Mau kah…

View original post 351 more words

“Jadi, tetangga nih?”

Ternyata beneran ‘tetangga’ 😁

Bekerja untuk Keabadian

Bismillaah…

[28 Oktober 2018: Sepekan sebelum kedatangannya untuk meng-khitbah (dalam hati, “Ya Allah, beneran nih pekan depan aku mau di-khitbah?”)]

Beberapa bulan lalu, ketika membuka jurnal hadiah dari salah seorang saudari-dalam-iman terbaik, sampailah aku pada satu halaman yang membuatku tersenyum. Melihat gambar yang ada di halaman itu, iseng saja aku melontarkan sebuah tanya tanpa ada niatan serius awalnya, “Jadi, tetangga nih?”. Tapi dasarnya orangnya masih suka kelewat serius dan doyan berimajinasi ini. Keisengan itu pun ditanggapi sendiri dengan langsung menyisir definisi ‘tetangga’ itu.

WhatsApp Image 2018-10-27 at 08.39.10

Apakah tetangga rumah? Hmm..sepertinya bukan.
Atau tetangga desa? Siapa ya? Ga ada deh kayaknya.
Oh, atau mungkin tetangga kost? Langsung kepikir, ‘duh, kost seberang atau kost belakang Yanisari ya?’. Wkwk, tambah ngelantur.
Eh, bentar, apa tetangga fakultas? Hmm, iya ga ya? Udah ah, ku tak mau mendahului takdir-Nya.

Pikiran iseng itu pun akhirnya dicukupkan dan diputuskan agar tanya itu digantungkan saja di langit kuasa-Nya. Ya, seringnya pikiran…

View original post 196 more words

Izinkanku Mengenalmu

Bekerja untuk Keabadian

Bismillaah.

“Kau adalah teman masa laluku
yang kini ingin kuperjuangkan
sudah lama aku mencari jalan tuk menemukan dirimu lagi
ini niatku

Izinkanku mengenalmu
agar keyakinanku padamu tumbuh dalam hati
Izinkanku membaca kisahmu
agar aku bisa mengerti siapa dirimu dan semua tentangmu”

(Ta’aruf by Anindito Dwi S, song by Kang Abay)

[22 Sept 2018 (satu pekan sebelum rencana kedatanganmu & orangtuamu ke rumahku]

Jujur saja, ketika awal rilis versi animasi ini dan mulai menyimak betul liriknya, aku hanya bisa senyam-senyum sendiri. Padahal mah dari awal tahu ada project singlelillaah dengan segala soundtrack-nya akunya biasa aja dan ngga ngikutin amat. Cuma sekilas-sekilas aja kalau muncul di timeline. Eh pas ternyata lagi dalam masa perkenalan dan nyimak bagian liriknya, dalam hati aku berkata, “Allah, seperti inikah? Yang sedang kujalani saat ini? Dia kah?”

Jujur saja, aku tak berani mendahului takdir-Nya. Maka aku memilih untuk menyimpannya rapat hingga tiba waktu yang tepat untuk…

View original post 166 more words

Izinkan Aku Mencintaimu dengan Iman

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

[5 Januari 2019 – 20 hari menjelang pernikahan (beneran nih mau nikah? hh) ]

Malam ini, lanjut dengerin nasyid cinta #eh di youtube. Qadaarullaah nemu video di bawah ini. Kok rasa-rasanya syair nasyidnya mewakili diriku ya? (Update: mas suami pas buka link nya & denger instrumen awal2nya langsung komentar kalau nasyidnya ‘alay’, wkwk)

Sehabis mendengarkan, di menit ke sekian, tetiba aku terinspirasi untuk membuat tulisan dengan judul di atas, hihi. Ya, “izinkan aku mencintaimu dengan iman”. Ya, mencintai dengan iman. Kenapa? Sebab, aku tak ingin mencintai karena nafsu semata. Aku ingin mencintai dengan cinta yang dibimbing iman kepada-Nya. Aku ingin cinta yang terlahir atas dasar keimanan kepada-Nya.

Sekarang–20 hari menuju pernikahan–apakah aku sudah mencintaimu? Entahlah, aku tak tahu. Yang jelas, aku tak ingin menaruh harap yang berujung kecewa. Yang jelas, aku tak ingin berangan panjang yang membuatku sengsara. Yang jelas, saat ini kita (masih) bukan siapa-siapa. Sekadar (hanya) calon saja. Segala kemungkinan masih bisa terjadi (jika Allah mengizinkan) walaupun tentu kita tetap berdoa semua (akan) berjalan baik-baik saja. Tetap saja, aku tak ingin mendahului ketetapan-Nya.

[22 Februari 2019 – empat pekan setelah pernikahan]

Aku mulai paham definisi cinta yang sesungguhnya. Bukan ‘cinta’ seperti yang lalu-lalu (yang bisa jadi bukan cinta yang sebenarnya). Cinta yang ini lain. Ada pengorbanan di sana. Ada pemahaman satu sama lain di dalamnya. Ada keterbukaan, ada saling mengingatkan dan menguatkan, juga ada keinginan untuk menyelaraskan irama langkah kaki agar beriringan. Cinta yang selalu berpangkal pada tanya, “sudahkah Allah rida dengan ikhtiar baktiku kepada ia yang jadi imamku?”.

Ada selalu cacat dan kekurangan yang membuat diri khawatir ketiadaan ridanya atas keterbatasan baktiku. Hanya harap semoga Allah mampukan diri mempersembahkan bakti terbaik. Harap selalu Allah ampunkan setiap alpa dan lupa diri. Semoga Allah jaga cinta ini. Semoga Allah kekalkan ikatan cinta ini yang semoga selalu ditautkan dalam keimanan kepada-Nya.

*Diedit pada 22022019, empat pekan setelah hari pernikahan. Rencananya sih mau ada muhasabah empat pekan pernikahan (terinspirasi dari tulisan di salah satu blog yang kuikuti). Kira-kira apa ya hasil muhasabahnya?