Wisuda Kedua: Rencana-Nya Selalu Tepat Waktu

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Alhamdulillaahilladzii bini’matihii tatimmushshaalihaat. Ya, lagi-lagi hanya pujian dan rasa syukur yang pantas dihaturkan kehadirat Allah, Tuhan semesta alam. Ada satu nasihat yang pernah kudengar bahwa sebaik-baik do’a adalah “alhamdulillaah” (dalam sebuah hadits riwayat Tirmidzi: Afdhaludzdzikra “laa ilaa ha illallaah”, wa afdhaluddu’a “alhamdulillaah”). Maka, ketika lidah kelu untuk berucap  sedangkan rasa begitu membuncah dalam dada, satu kalimat lirih hamdallah saja agaknya cukup mewakili apa yang tak mampu terlahirkan dari lisan.

Bisa dibilang, tulisan ini terhitung telat mengingat wisuda kedua ini sudah lewat enam bulan sebelumnya. Kalau mau jujur sih, keinginan untuk berbagi momentum ini sudah ada sejak saat itu juga, tapi memang sengaja untuk ditahan. Kenapa? Pertama, agar diri ini tidak larut dalam euforia sesaat dan lupa hakikat sebenarnya dari seremonial bernama “wisuda”. Yang kedua, saat itu masih ada kewajiban yang harus diselesaikan dulu sebelum akhirnya boleh menggondol pulang ijazah S2, hehe.

Masalah ijazah sebenarnya tidak mau ambil pusing karena toh masih kerja di kampus ini. Jadilah akhirnya syarat pengambilannya tertunda terus dengan alasan ada kewajiban lain yang lebih prioritas :D. Tapi, sejak ditanya bapak soal ijazah dan qadarullaah kemudian keadaan mendorongku untuk memutuskan resign dari kampus, jadilah berpikir lagi, sepertinya memang mesti segera dibereskan (cara Allah untuk ‘negor’ hamba-Nya itu keren ya? :D). Yah, di akhirat sih memang tidak akan ditanya “mana ijazahnya?”, tapi ternyata eh ternyata kalau tidak salah ingat–pernah nemu di Mariage Journal-nya BrideTalk–salah satu dokumen yang perlu disiapkan untuk berkas nikah itu fotokopi ijazah terakhir, hihi. Yang terakhir ini pikiran iseng sih, tapi tetap aja kepikiran. Daripada nanti kelabakan di akhir (kalau emang dibutuhkan), mending diurus sekarang, ya ‘kan (padahal mah entah kapan ngurusinnya :”D)?

Eh, kok jadi ngelantur, padahal tadinya mau serius. Okay, back to the topic. Yah, jadi wisuda kedua ini menandakan bahwa aku sudah semakin tua, hiks. Maksudnya, gelar yang disematkan bukanlah hal yang main-main. Ada tanggung jawab yang diemban bersamaan dengan gelar yang disandang. Ada amanah baru yang diharapkan mampu ditunaikan sebagai bentuk rasa syukur atas kesempatan merasakan manisnya ilmu yang sedikit sekali orang bisa mendapatkannya.

Banyak kawan yang bertanya; “Abis ini ke mana?”, “Mau jadi dosen ya?”, “Udah ngajar ya?”; dan beragam pertanyaan serupa. Karena memang bukan tipe orang yang senang berbagi rencana hidup dengan banyak orang, jadilah pertanyaan-pertanyaan itu seringnya hanya mampu kujawab dengan senyum dan pinta do’a kebaikan. Sebab memang, kita hanya bisa berencana sekaligus berikhtiyar dan Allah-lah yang bertugas memilihkan yang terbaik untuk kita. Apakah itu sesuai rencana kita atau tidak, percaya saja Allah Mahatahu yang terbaik untuk kita. Dan ya, aku mulai menikmati kejutan-kejutan hidup yang diberikan-Nya. Menikmati satu demi satu dari sekian banyak do’aku dijawabnya dengan beragam cara-Nya yang istimewa.

DSCF6597.JPG

Dan…wisuda kedua ini adalah satu dari sekian banyak kejutan dari-Nya. Meskipun pending satu semester dari target awal, tapi ternyata ada banyak hikmah dan pelajaran yang Allah siapkan bersamaan dengan ditundanya kelulusanku ini. Kalau boleh menjawab jujur, jika ditanya apa saja yang aku pelajari selama studi magister ini, jawabanku adalah pelajaran hidup!

Ya, selama masa dua tahun itu yang lebih banyak kurasakan (dan kunikmati :D) adalah pelajaran hidupnya, bukan matakuliahnya 😀 (karena memang matakuliah yang qadarullaah bisa kuambil saat itu hanya sedikit yang benar-benar sesuai dengan minatku :p). Jadi, timing yang dibuat Allah memang precise! Bisa jadi kalau aku lulus sesuai target awal, ada banyak pelajaran hidup yang kulewatkan. Oh, betapa indah skenario-Nya. Mahasuci Allah dari segala prasangka buruk hamba-Nya. Dia selalu menyiapkan ganti yang jauh lebih baik atas segala sesuatu yang diambil-Nya dari hamba-Nya. Dan ya, (aku percaya bahwa) rencana-Nya selalu tepat waktu; maa syaa Allah, laa quwwata illaa billaah.

Komentar